Tuesday, November 13, 2007

Kondusif, untuk apa?

Kata ini mulai populer, seingat saya, saat-saat menjelang tahun 1988. Saat itu mulai banyak kerusuhan di Indonesia. Kata ini kemudian banyak dipakai oleh para juru bicara aparat keamanan, kepolisian maupun TNI/ABRI.

Beberapa saat setelah terjadi kerusuhan dan aparat keamanan "berhasil mengendalikan” situasi, maka akan dilakukan jumpa pers. "Situasi sudah kondusif," kata mereka. Bila sebuah kata mulai digunakan pejabat, maka berbondong-bondong orang akan mengekor tanpa perlu memahami sepenuhnya arti katanya. Anda bisa mengingat-ingat kembali kata-kata apa saja yang populer pada masa orde baru.

Sialnya, para penulis dan wartawan tidak lepas dari kecenderungan ini. Selain kutipan langsung, mereka juga menggunakannya saat menulis dan melaporkan berita dengan kata-katanya sendiri.

Pikiran saya terusik kembali saat membaca laporan Media Indonesia, 13 November 2007. Pada halaman 22 rubrik Nusantara tertulis judul "Pascakeributan, Takalar Kondusif." Alenia pertama berbunyi: Pascakeributan antara polisi dan massa pendukung salah satu calon bupati, Jumat (9/11), situasi Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan (Sulsel), mulai kondusif.

Kata kondusif berasal dari bahasa Inggris conducive yang berarti allowing or helping something to happen. Menurut dictionary.com, conducive adalah ajektiva yang berasal dari kata conduce + ive, yang memiliki arti tending to produce; conducing; contributive; helpful; favorable (usually fol. by to): Good eating habits are conducive to good health.

Nah, tentu kita semua mafhum bahwa yang dimaksud penulis di Media Indonesia dan para penulis di tempat lain maupun pejabat beberapa pejabat tersebut bahwa yang dimaksud adalah kondusif untuk keamanan. Persoalannya, kata kondusif di sini seolah-olah berdiri sendiri. Tak ada tambahan apa pun di belakangnya.

Contoh lain penggunaan salah kaprah kata kondusif juga diucapkan oleh ahli/pejabat ekonomi. “Setelah sekian lama terpuruk, situasi ekonomi nasional mulai kondusif.” Kondusif untuk apa? Bila menggunakan kata kira-kira akan berbunyi demikian: ““Setelah sekian lama terpuruk, situasi ekonomi nasional mulai mendukung.” Maka pertanyaannya juga sama, mendukung apa?

Tentu akan lebih tepat bila kalimatnya berbunyi: “Setelah sekian lama terpuruk, situasi mulai kondusif bagi kebangkitan ekonomi nasional” atau “Kekacauan mulai teratasi dan situasi mulai kondusif bagi warga untuk melakukan kegiatan sehari-hari.”

Mari kita belajar menggunakan bahasa dengan lebih baik dan benar. Jangan malas mencari apa sebenarnya makna kata, terutama untuk kata serapan (baku maupun bukan). Boleh saja meminjam kosa kata bahasa lain, namun bila menggunakannya secara salah akan mengacaukan bahasa kita sendiri. Orang lain pun akan menertawakan cara kita berbahasa.

Monday, September 24, 2007

Lebaran Boleh Beda, Tulisan Harus Sama

Karena Muhammadiyah sudah memutuskan lebaran tanggal 12 Oktober, lebaran tahun ini mungkin berbeda hari bila NU tidak berhasil melihat bulan tanggal 1 Syawal pada 11 Oktober. Meski tak bareng, sama sekali tak ada yang harus disesalkan atau dipaksakan untuk lebaran pada hari bersamaan.

Tulisan ini juga tak hendak membahas perbedaan tersebut. Namun bandingkan laporan dua situs berita tentang pertemuan petinggi ormas Islam dan pemerintah berikut ini: “JK Minta Derajat NU Dinaikkan, Muhammadiyah Diturunkan” (http://www.detik.com/indexberita/indexfr.php) dan “Lebaran Bisa Beda, Toleransi Harus Dijaga” (http://www.kompas.co.id/ver1/Nasional/0709/24/131431.htm).

Mengutip Hasyim Muzadi kedua media menuliskan dua hal yang bertolak belakang. Pada kompas.co.id ditulis: “Wapres menyarankan, derajat NU diturunkan sedikit, dan Muhammadiyah dinaikkan sedikit, sehingga ada cash and carry.”

Sementara pada detik.com tertulis: “Karena Wapres orang ekonomi, Wapres minta derajat Muhammadiyah diturunkan dan derajat NU dinaikkan. Jadi bisa cash and carry.”

Memang tidak mempengaruhi esensi berita atau merugikan pihak lain, namun kita harus mempertanyakan akurasi data para wartawan.

Belum lagi kutipan dari Menteri Agama Maftuh Basuni yang menggunakan bahasa daerah. “…Kalau sudah ada kesepakatan, jangan ada kemrocot (terjadi) lagi, “ tulis detik.com, sementara kompas.co.id menulis: “Kalau sudah ada kesepakatan, jangan lagi yang mrucut.”

Pada kutipan dari Mahtuh Basuni, saya menduga yang lebih benar cara menulisnya adalah kompas.co.id. Mrucut (bahasa Jawa) artinya lepas atau lolos dari pegangan. Saya menduga Basuni melafalkan mrucut dengan logat Surabaya sehingga terdengar mrocot, seperti kata “putih” yang dilafalkan menjadi “poteh”.

Lantas dari mana detik.com mendapatkan awalan “ke” pada kata “kemrocot”? Apa pula artinya?

Tuesday, April 24, 2007

Jaran eh... jiran

Sebelumnya perusahaan telekomunikasi Negeri Jiran, Telekom Malaysia juga telah menjadi pemilik mayoritas di PT Excelcomindo Pratama Tbk.

Kalimat itu adalah ekor pemberitaan tentang penguasaan Maxis, sebuah perusahaan asal Malaysia, atas saham Lippo Telecom yang dimuat situs berita detik.com (25/4).
Ada yang terasa kurang pas yaitu frasa Negeri Jiran. Saya semakin yakin banyak penulis yang tidak mengerti maksud frasa tersebut. Entah siapa yang memulai penggunaannya dalam kalimat berbahasa Indonesia, frasa tersebut sebenarnya untuk menggantikan frasa "negeri tetangga". Mungkin sekadar untuk variasi kata. Kata jiran berasal dari bahasa Arab yang memang berarti tetangga.

Ketidaktahuan banyak penulis Indonesia mengenai arti sebenarnya kata "jiran" terbukti dari penggunaannya yang hanya dipakai sebagai pengganti "kata" Malaysia. Saya belum pernah mengetahui kata itu dipakai untuk Brunei, Singapura, apalagi Papua Nugini dan Australia. Padahal mereka semua adalah negara tetangga kita.

Khusus tentang contoh pada kalimat di atas, setidaknya ada dua bukti bahwa penulisnya tidak tahu arti kata jiran. Petama, penulisan frasa dengan huruf besar. Jika penulis tahu arti kata jiran adalah "sekadar" tetangga, seharusnya menulis dengan huruf kecil. Berbeda dengan penulisan Negeri Gajah Putih atau Negeri Tirai Bambu yang merupakan julukan khusus untuk Thailand dan Cina.

Kedua, bila penulis mengerti arti kata tersebut, tentu akan menuliskannya seperti ini, " Sebelumnya, sebuah perusahaan telekomunikasi yang juga berasal dari negeri jiran ini, Telekom Malaysia juga telah ......" Posisi kalimat seperti "Sebelumnya, sebuah perusahaan telekomunikasi asal negeri yang dipimpin Abdullah Ahmad Badawi ini, Telekom Malaysia juga telah ....."

Atau ada sebab lain mengapa hanya Malaysia yang (sering) disebut sebagai negeri jiran?

Monday, March 12, 2007

Gelar Akademis dan Undangan Pernikahan

Baru saja saya menerima sebuah undangan resepsi pernikahan seorang rekan. Cetakannya bagus, ada peta detil, foto, doa-doa, dan ..... dua nama calon mempelai. Dua nama dengan masing-masing gelar akademis.

Sekilas tak ada yang salah dan mungkin memang tidak salah. Hanya saja, saya selalu risih setiap mendengar, melihat, dan membaca gelar-gelar akademis yang tidak pada tempatnya. Dalam pengumuman di tempat-tempat ibadah, rapat di rumah Pak RT atau kelurahan, undangan kenduri, sunatan, perkawinan, dan lain-lain begitu sering tertulis atau tersebut gelar-gelar akademis di depan atau belakang nama-nama itu.

Kadang-kadang saya bertanya, ini undangan perkawinan atau undangan diskusi ilmiah di kampus? Kalaupun undangan syukuran, yang paling masuk akal adalah syukuran wisuda atau penganugerahan gelar profesor atau guru besar.

Mengapa sih kita bangga sekali menempelkan gelar? Pendidikan formal yang dahulu sangat sulit didapat (kini juga masih sulit karena mahal) barangkali menjadi kontributor terbesar. Selain itu, tentu saja kebiasaan pamer. Daripada tidak ada yang dibanggakan, gelar bisa ditambahkan dalam penulisan nama.

Yang terakhir tentu saja terkait erat dengan kepercayaan diri. Dengan menambahkan gelar, banyak kekurangan setidaknya dianggap bisa ditambal. Meski untuk mendapatkan gelar, seseorang tidak harus benar-benar memenuhi kualifikasi persyaratannya. Bukankah banyak mahasiswa lulus dengan skripsi asal jadi? Nyontek juga tidak diharamkan waktu masih kuliah. Dengan beberapa juta gelar doktor bisa ditangan.

Saya jadi ingat, beberapa tahun lalu sebelum menikah, saya sempat memikirkan penulisan nama dalam undangan ini. Tentu saja saya tidak ingin menuliskan gelar sarjana di belakang nama saya. Hanya saja, bagaimana dengan nama pacar saya? Dengan sedikit penjelasan, dia pasti setuju untuk tak usah menuliskannya. Tapi bagaimana dengan calon mertua saya yang sudah membiayai kuliahnya yang mahal di sebuah fakultas mewah sebuah universitas swasta papan atas Jakarta?

Ah, beruntunglah saya. Persoalan itu tak datang pada saya, karena undangan pernikahan kami hanya berupa sms dan telepon kepada sedikit rekan dan handai taulan.
Jakarta, 13/2/07, 12:17

Tuesday, February 13, 2007

Gundul atau Botak?

“Rania botak… Rania botak…..”. Demikian anak-anak tetangga memanggil, waktu kugendong anakku ke luar rumah, beberapa saat setelah aku cukur seluruh rambut di kepalanya. Memang, sudah lama aku ingin kembali mencukur gundul anakku. Ini kali ketiga kepalanya menjadi plontos. Kebetulan, hari Sabtu itu tanggal 1 Muharram atau 15 hari setelah ulang tahun pertamanya.
Ada rasa tidak nyaman di telinga mendengar panggilan itu. Memang benar kepala Rania sedang tidak berambut. Namun dia tidak botak. Kepalanya hanya sedang gundul. Sebelum dicukur, rambutnya tumbuh normal, bahkan terhitung lebat. Orang-orang sering menyebut rambutnya lebat, tebal, banyak, dan sebagainya.
Mengapa sih susah amat membedakan antara gundul dan botak. Sialnya, ini bukan hanya terjadi pada anak kecil, banyak orang dewasa yang salah kaprah. Dan justru di sinilah masalahnya. Kesalahan memilih kata pada anak-anak tentu disebabkan kesalahan orang tua dalam bertutur.
Gundul dan botak sama-sama mengacu pada keadaan kepala yang tidak atau kurang berambut. Namun keadaan gundul dicapai melalui proses pencukuran maupun “pencukuran”. Dalam bidang olah raga sering kita dengan kalimat: “Persija dicukur gundul 5-0” atau ditulis secara lebih singkat “Persebaya digunduli AC Milan”.
Botak adalah keadaan kepala yang kehilangan rambut karena karena proses alami. Biasanya berlangsung secara perlahan. Karena suatu sebab, rambut mengalami kerontokan dan lama kelamaan kepala menjadi botak. Umumnya dimulai dari tengah atau depan kepala. “Kepala botak dan kacamata adalah stereotype yang biasa digunakan untuk menggambarkan seorang profesor”. “Cegah kebotakan dengan krim ‘Rambut Kawat’.
Nah, tentu bukan karena kesebelasan Indonesia tidak mungkin mengalahkan Thailand jika tidak ada kalimat “Indonesia membotaki Thailand”. Juga tidak akan ada kalimat “Jangan biarkan kegundulan mengganggu penampilan Anda. Oleskan selalu krim ‘Minyak Jelantah’.
Kembali ke kepala anakku, meski kini rambutnya sudah tumbuh sekitar setengah sentimeter, jika ingin memanggilnya dengan memberi imbuhan terkait kepalanya adalah “Rania Gundul” bukan “Rania Botak”.

Monday, February 12, 2007

Antara F, P, dan E

Sudah lama jadi pertanyaanku, mengapa banyak sekali orang yang sulit membedakan ketiga huruf ini. Namun menjadi sangat menggangguku setelah kejadian di parkiran RSAB Harapan Kita, malam pertama Rania masuk rumah sakit (6/2), akibat muntah dan mencret.

Setelah Rania mendapatkan kamar, aku mau pulang untuk mengambil barang-barang keperluan menginap. Saat adikku mau mengambil motor di parkiran, aku menunggu di bagian pembayaran. “Nomornya be-6533-be-je-ve (B 6533 BJV), mbak, “ kataku pada penjaga loket. Aku lihat di layar tertulis “B 6533 BJP”. “Ve, mbak.....bukan pe,” jelasku. Lantas digantinya huruf P menjadi V. “Begini ya, mas?”

Kami pun pulang untuk mengambil barang-barang yang diperlukan untuk menginap di rumah sakit. Satu jam kemudian kami sampai kembali di parkiran rumah sakit. Adikku langsung masuk mencari tempat parkir. Penjaga loket tidak sempat melihat nomor sepeda motor. Aku yang turun di depan loket memberitahu nomor plat motorku....”be-6533-be-je-ve.” Kali ini yang ditulis petugas loket adalah B 6533 BJF. “Ve bukan ef, mas”, kataku membenarkan. Dia pun menggantinya menjadi V. Namun sambil mengetikan huruf, apa kata si mas parkir? “Itu vi, mas....bukan ve." Aduh, makin pusing kepalaku. Dalam hati hati aku bertanya, kita sedang berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris ya?

blogger baru, layanan lama.

Saya baru saja membuat weblog. Ketinggalan banget yah? Saat banyak orang sudah pada malang-melintang sebagai blogger, bahkan di Malaysia sudah ada dua orang yang ditangkap gara-gara isi weblog-nya, saya baru memulai.
Tapi jangan kuatir, meski saya blogger baru, namun jasa terjemah yang saya tawarkan bukanlah pekerjaan baru bagi saya. Awalnya sih, sekadar bantu-bantu teman dan kolega. Juga menyalurkan kegemaran saya memerhatikan bahasa-bahasa. Lama-lama keasyikan dan kebiasaan ini berubah sifat menjadi layanan komersial.
Pekerjaan menerjemah (sebagian menuliskannya penterjemah, padahal huruf “t” pada awal kata terjemah mestinya luluh sebagaimana tiga huruf lainnya: k, p, dan s) bukanlah sekadar memahami dengan baik bahasa sumber, termasuk budaya, konteks, dan lain-lain yang melatarbelakangi terciptanya naskah, lalu menyampaikan kembali dalam bahasa target. Pemahaman bahasa target beserta berbagai macam pernak-perniknya juga perlu. Hal ini penting, agar bahasa target bisa dipahami sepenuhnya oleh pembaca, tidak asal bunyi – bahkan ada yang tidak bisa “bunyi”. Seringkali kita menemui, bahasa asli lebih mudah dipahami daripada membaca terjemahannya.
Sekian dahulu pembukaan dari saya. Mohon doa restu, agar apa yang hendak saya sampaikan pada posting-posting berikutnya bisa memberi manfaat kepada khalayak.
Salam.